Kasus Pelanggaran Hak Asasi Manusia
(HAM) Di Indonesia:
Kasus Marsinah dan Tragedi Tanjung Priok
Maulana Rafiq Ramadhan
Abstraksi
Pancasila yang merupakan ideologi bangsa
Indonesia, dijadikan sebagai acuan adalam penegakkan hak asasi manusia (HAM).
Karena Pancasila merupakan ideologi yang mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan.
Pancasila sangat menghormati hak asasi setiap warga negara maupun bukan warga
negara Indonesia. Pancasila menjamin HAM melalui nilai-nilai yang terkandung di
dalamnya.
Kata-kata
kunci
Hak Asasi Manusia (HAM); kasus; pelanggaran
Pendahuluan
Hak Asasi Manusia (HAM)
adalah seperangkat hal-hal yang didapatkan oleh individu, bersifat pokok,
fundamental, yang merupakan pemberian dari tuhan Yang Maha Esa yang wajib
dihormati dan dijunjung tinggi oleh individu lain, dan sudah ada didalam diri
setiap manusia dari lahir, serta tidak dapat direbut atau digantikan.
Salah satu
karakteristik HAM adalah bersifat universal, artinya, hak asasi merupakan hak
yang dimiliki oleh setiap manusia di dunia tanpa membedakan suku bangsa, agama,
ras maupun golongan. Oleh karena itu, setiap negara wajib menegakkan HAM. Akan
tetapi, karakteristik penegakkan HAM berbeda-beda antar negara satu dengan yang
lainnya. Ideologi, kebudayaan dan nilai-nilai khas yang dimiliki suatu negara
akan mempengaruhi pola penegakan HAM di suatu negara.
Hak asasi manusia (HAM)
diatur dalam UUD 1945 Pasal 28A-28J dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
39 Tahun 1999 tantang Hak Asasi Manusia. Instrumen-instrumen penegakan HAM
tersebut menjadi kekuatan hukum yang mengikat dan memaksa bagi warga negara
Indonesia.
Secara yuridis, Pasal 1
Angka 6 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia menyatakan bahwa pelanggaran hak asasi manusia adalah setiap perbuatan
seseorang atau kelompok, termasuk aparat negara, baik disengaja maupun tidak
disengaja atau kelalaian yang secara hukum mengurangi, menghalangi, membatasi
dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin
oleh undang-undang dan tidak mendapatkan atau dikhawatirkan tidak akan
memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar berdasarkan mekanisme hukum
yang berlangsung.
Pelanggaran HAM
dibedakan menjadi Pelanggaran HAM ringan dan Pelanggaran HAM berat. Pelanggaran
HAM ringan seperti melecehkan, mengejek, tidak menghargai pendapat orang lain,
dan sebagainya. Pelanggaran HAM berat itu menurut Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM dapat diklasifikasikan
menjadi dua, yaitu, Kejahatan Genosida dan Kejahatan terhadap kemanusiaan.
Kejahatan genosida adalah perbuatan yang dimaksudkan untuk menghancurkan atau
memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, etnis, agama, dengan
berbagai cara. Sedangkan kejahatan terhadap kemanusiaan adalah perbuatan yang
dilakukan sebagai bagian dari penyerangan yang meluas dan sistematik yang
diketahuinya bahwa serangan tersebut ditunjukan secara langsung kepada penduduk
sipil.
Pembahasan
A.
Kasus
Marsinah
1.
Kronologis
Pada pertengahan April
1993, para buruh PT. CPS (Catur Putra Surya) pabrik tempat kerja Marsinah resah
karena ada kabar kenaikan upah menurut Sudar Edaran Gubernur Jawa Timur. Dalam
surat itu termuat himbauan pada para pengusaha untuk menaikkan upah buruh
sebesar 20% dari upah pokok. Pada minggu-minggu tersebut, Pengurus PUK-SPSI PT.
CPS mengadakan pertemuan di setiap bagian untuk membicarakan kenaikan upah
sesuai dengan himbauan dalam Surat Edaran Gubernur. Selanjutnya pada tanggal 3
Mei 1993 seluruh buruh PT. CPS tidak masuk kerja, kecuali staf dan para Kepala
Bagian. Hari itu juga, Marsinah pergi ke kantor Depnaker Surabaya untukmencari
data tentang daftar upah pokok minimum regional. Data inilah yang ingin
Marsinah perlihatkan kepada pihak pengusaha sebagai penguat tuntutan pekerja
yang hendak mogok.
Tanggal 4 Mei 1993
pukul 07.00 para buruh PT. CPS melakukan unjuk rasa dengan mengajukan 12
tuntutan. Seluruh buruh dari ketiga shift serentak masuk pagi dan mereka
bersama-sama memaksa untuk diperbolehkan masuk ke dalam pabrik. Satpam yang
menjaga pabrik menghalang- halangi para buruh shift II dan shift III. Para
satpam juga mengibas-ibaskan tongkat pemukul serta merobek poster dan spanduk
para pengunjuk rasa sambil meneriakan tuduhan PKI kepada para pengunjuk rasa.
Aparat dari koramil dan kepolisian sudah berjaga-jaga di perusahaan sebelum
aksi berlangsung. Selanjutnya, Marsinah meminta waktu untuk berunding dengan
pengurus PT. CPS. Perundingan berjalan dengan hangat. Dalam perundingan
tersebut, sebagaimana dituturkan kawan-kawannya. Marsinah tampak bersemangat
menyuarakan tuntutan. Dialah satu-satunya perwakilan dari buruh yang tidak mau
mengurangi tuntutan. Khususnya tentang tunjangan tetap yang belum dibayarkan
pengusaha dan upah minimum sebesar Rp. 2.250,- per hari sesuai dengan kepmen
50/1992 tentang Upah Minimum Regional. Setelah perundingan yang melelahkan
tercapailah kesepakatan bersama.
Namun, pertentangan
antara kelompok buruh dengan pengusaha tersebut belum berakhir. Pada tanggal 5
Mei 1993, 13 buruh dipanggil kodim Sidoarjo. Pemanggilan itu diterangkan dalam
surat dari kelurahan Siring. Tanpa dasar atau alasan yang jelas, pihak tentara
mendesak agar ke-13 buruh itu menandatangani surat PHK. Para buruh terpaksa
menerima PHK karena tekanan fisik dan psikologis yang bertubi-tubi. Dua hari
kemudian menyusul 8 buruh di-PHK di tempat yang sama. Marsinah bahkan sempat
mendatangi Kodim Sidoarjo untuk menanyakan keberadaan rekan-rekannya yang
sebelumnya dipanggil pihak Kodim. Setelah itu, sekitar pukul 10 malam, Marsinah
lenyap. Marsinah marah saat mengetahui perlakuan tentara kepada kawan-kawannya.
Selanjutnya, Marsinah mengancam pihak tentara bahwa Ia akan melaporkan
perbuatan sewenang-wenang terhadap para buruh tersebut kepada Pamannya yang
berprofesi sebagai Jaksa di Surabaya dengan membawa surat panggilan kodim milik
salah seorang kawannya. Mulai tanggal 6,7,8, keberadaan Marsinah tidak
diketahui oleh rekan-rekannya sampai akhirnya ditemukan telah menjadi mayat
pada tanggal 9 Mei 1993
Mayatnya ditemukan di
gubuk petani dekat hutan Wilangan, Nganjuk tanggal 9 Mei 1993. Ia yang tidak
lagi bernyawa ditemukan tergeletak dalam posisi melintang. Sekujur tubuhnya
penuh luka memar bekas pukulan benda keras. Kedua pergelangannya lecet-lecet,
mungkin karena diseret dalam keadaan terikat. Tulang panggulnya hancur karena
pukulan benda keras berkali-kali. Di sela-sela pahanya ada bercak-bercak darah,
diduga karena penganiayaan dengan benda tumpul. Pada bagian yang sama menempel
kain putih yang berlumuran darah. Mayatnya ditemukan dalam keadaan lemas,
mengenaskan.
2.
Penanggulangan
Tanggal 30 September
1993 telah dibentuk Tim Terpadu Bakorstanasda Jatim untuk melakukan
penyelidikan dan penyidikan kasus pembunuhan Marsinah. Sebagai penanggung jawab
Tim Terpadu adalah Kapolda Jatim dengan Dan Satgas Kadit Reserse Polda Jatim
dan beranggotakan penyidik/penyelidik Polda Jatim serta Den Intel Brawijaya.
Delapan petinggi PT CPS ( Yudi Susanto, 45 tahun, pemilik pabrik PT CPS Rungkut
dan Porong; Yudi Astono , 33 tahun, pemimpin pabrik PT CPS Porong; Suwono, 48
tahun, kepala satpam pabrik PT CPS Porong; Suprapto , 22 tahun, satpam pabrik
PT CPS Porong; Bambang Wuryantoyo , 37 tahun, karyawan PT CPS Porong; Widayat,
43 tahun, karyawan dan sopir di PT CPS Porong; Achmad Sutiono Prayogi , 57
tahun, satpam pabrik PT. CPS Porong; Karyono Wongso alias Ayip, 37 tahun,
kepala bagian produksi PT CPS Porong) ditangkap secara diam-diam dan tanpa
prosedur resmi, termasuk Mutiari, 26 tahun, selaku Kepala Personalia PT CPS dan
satu- satunya perempuan yang ditangkap, mengalami siksaan fisik maupun mental
selama diinterogasi di sebuah tempat yang kemudian diketahui sebagai Kodam V
Brawijaya. Setiap orang yang diinterogasi dipaksa mengaku telah membuat
scenario dan menggelar rapat untuk membunuh Marsinah.
Baru 18 hari kemudian,
akhirnya diketahui mereka sudah mendekam di tahanan Polda Jatim dengan tuduhan
terlibat pembunuhan Marsinah. Pengacara Yudi Susanto, Trimoelja D. Soerjadi,
mengungkap adanya rekayasa oknum aparat kodim untuk mencari kambing hitam
pembunuh Marsinah. Secara resmi, Tim Terpadu telah menangkap dan memeriksa 10
orang yang diduga terlibat pembunuhan terhadap Marsinah. Salah seorang dari 10
orang yang diduga terlibat pembunuhan tersebut adalah Anggota TNI. Pasal yang
dipersangkakan Penyidik Polda Jatim terhadap para tersangka dalam Kasus
Marsinah tersebut antara lain Pasal 340 KUHP, 255 KUHP, 333 KUHP, hingga 165
KUHP jo Pasal 56 KUHP.
Hasil penyidikan polisi
ketika menyebutkan, Suprapto (pekerja di bagian kontrol CPS) menjemput Marsinah
dengan motornya di dekat rumah kos Marsinah. Dia dibawa ke pabrik, lalu dibawa
lagi dengan Suzuki Carry putih ke rumah Yudi Susanto di Jalan Puspita,
Surabaya. Setelah tiga hari Marsinah disekap, Suwono (satpam CPS) mengeksekusinya.
Di pengadilan, Yudi Susanto divonis 17 tahun penjara, sedangkan sejumlah
stafnya yang lain itu dihukum berkisar empat hingga 12 tahun, namun mereka naik
banding ke Pengadilan Tinggi dan Yudi Susanto dinyatakan bebas. Dalam proses
selanjutnya pada tingkat kasasi, Mahkamah Agung Republik Indonesia membebaskan
para terdakwa dari segala dakwaan (bebas murni) Jaksa / Penuntut Umum. Putusan Mahkamah
Agung RI tersebut, setidaknya telah menimbulkan ketidakpuasan sejumlah pihak
sehingga muncul tuduhan bahwa penyelidikan kasus ini adalah
"direkayasa" .
3.
Komentar
Kasus Marsinah
merupakan kejadian yang memilukan, dimana seorang buruh yang menuntut haknya
harus kehilangan nyawanya dengan tragis. Selain itu, dalam proses pengadilan,
tidak ditetapkan siapa yang menjadi pembunuh dalam kasus tersebut, sehingga
tidak ada yang diadili dan dihukum.
Kejadian seperti ini
mengingatkan kepada kita semua, bahwa dalam kehidupan baik dalam lingkup
masyarakat maupun berbangsa dan bernegara haruslah kita menjunjung HAM orang
lain yang sama-sama harus kita hormati. Dengan cara seperti itu, dapat mencegah
terjadinya lagi kasus seperti Kasus Marsinah ini. Selain itu juga, harusnya pemerintah,
khususnya pengadilan harus memberikan keputusan yang sebaik-baiknya, tanpa
adanya tindakan tercela seperti penyuapan ataupun yang lainnya, yang dapat
menimbulkan rasa tidak percaya masyaratak terhadap kepastian hokum di
Indonesia.
B.
Tragedi
Tanjung Priok
1.
Kronologis
Sabtu, 8 September 1984
Dua orang petugas
Koramil (Babinsa) tanpa membuka sepatu, memasuki Mushala As-Sa’adah di gang IV
Koja, Tanjung Priok, Jakarta Utara. Mereka menyiram pengumuman yang tertempel
di tembok mushala dengan air got (comberan). Pengumuman tadi hanya berupa
undangan pengajian remaja Islam (masjid) di Jalan Sindang.
Ahad, 9 September 1984
Peristiwa hari Sabtu (8
September 1984) di Mushala as-Sa’adah menjadi pembicaran masyarakat tanpa ada
usaha dari pihak yang berwajib untuk menawarkan penyelesaan kepada jamaah kaum
muslimin.
Senin, 10 September 1984
Beberapa anggota jamaah
Mushala As-Sa’adah berpapasan dengan salah seorang petugas Koramil yang
mengotori mushala mereka. Terjadilah pertengkaran mulut yang akhirnya dilerai
oleh dua orang dari jamaah Masjid Baitul Makmur yang kebetulan lewat yaitu
Syarifuddin Rmbe dan Sofyan Sulaiman dua orang takmir masjid “Baitul Makmur”
yang berdekatan dengan Musholla As-sa’adah, berusaha menenangkan suasana dengan
mengajak ke dua tentara itu masuk ke dalam sekretarit takmir mesjid untuk
membicarakan masalah yang sedang hangat.
Ketika mereka sedang
berbicara di depan kantor, massa diluar sudah terkumpul. Kedua pengurus takmir
masjid itu menyarankan kepada kedua tentara tadi supaya persoalaan disudahi dan
dianggap selesai saja. Tapi mereka menolak saran tersebut. Massa diluar sudah
mulai kehilangan kesabarannya.
Sementara usaha
penegahan sedang berlangsung, orang-orang yang tidak bertanggung jawab dan
tidak ada urusannya dengan permasalahan itu tiba-tiba saja menarik salah satu
sepeda motor milik prajurit yang ternyata seorang marinir dan membakarnya. Saat
itu juga Syarifuddin Rambe dan Sofyan Sulaiman beserta dua orang lainnya
ditangkap aparat keamanan. Turut ditangkap juga Ahmad Sahi, Pengurus Musholla
As-Sa’adah dan satu orang lagi yang saat itu berada di tempat kejadian,
selanjutnya Mohammad Nur yang membakar motor ditangkap juga. Akibat penahanan
empat orang tadi kemarahan massa menjadi tak terbendung lagi, yang kemudian
memunculkan tuntutan pembebasan ke empat orang yang ditangkap tadi.
Kodim, yang diminta
bantuan oleh Koramil, mengirim sejumlah tentara dan segera melakukan
penangkapan. Ikut tertangkap 4 orang jamaah, di antaranya termasuk Ketua
Mushala As-Sa’adah tersebut.
Selasa, 11 September 1984
Pada tanggal 11
September 1984, Massa yang masih memendam kemarahannya itu datang ke salah satu
tokoh didaerah itu yang bernama Amir Biki, karena tokoh ini dikenal dekat
dengan para perwira di Jakarta. Maksudnya agar ia mau turun tangan membantu
membebaskan para tahanan.
Sudah sering kali Amir
Biki menyelesaikan persoalan yang timbul dengan pihak militer. Amir Biki
menghubungi pihak-pihak yang berwajib untuk meminta pembebasan empat orang
jamaah yang ditahan oleh Kodim, yang diyakininya tidak bersalah. Peran Amir
Biki ini tidak perlu mengherankan, karena sebagai salah seorang pimpinan Posko
66, dialah orang yang dipercaya semua pihak yang bersangkutan untuk menjadi
penengah jika ada masalah antara penguasa (militer) dan masyarakat. Usaha Amir
Biki untuk meminta keadilan ternyata tidak berhasil dan sia-sia.
Rabu, 12 September 1984
Dalam suasana tantangan
yang demikian, acara pengajian remaja Islam di Jalan Sindang Raya, yang sudah
direncanakan jauh sebelum ada peristiwa Mushala As-Sa’adah, terus berlangsung
juga. Penceramahnya tidak termasuk Amir Biki, yang memang bukan mubalig dan
memang tidak pernah mau naik mimbar. Akan tetapi, dengan latar belakang
rangkaian kejadian di hari-hari sebelumnya, jemaah pengajian mendesaknya untuk
naik mimbar dan memberi petunjuk. Pada kesempatan pidato itu, Amir Biki berkata
antara lain, “Mari kita buktikan solidaritas islamiyah. Kita meminta teman kita
yang ditahan di Kodim. Mereka tidak bersalah. Kita protes pekerjaan oknum-oknum
ABRI yang tidak bertanggung jawab itu. Kita berhak membela kebenaran meskipun
kita menanggung risiko. Kalau mereka tidak dibebaskan maka kita harus
memprotesnya.”
Dihadapan massa, Amir
biki berbicara dengan keras, yang isinya mengultimatum agar membebaskan para
tahanan paling lambat pukul 23.00 Wib malam itu juga. Bila tidak, mereka akan
mengerahkan massa untuk melakukan demonstrasi.
Selanjutnya, Amir Biki
berkata, “Kita tidak boleh merusak apa pun! Kalau ada yang merusak di
tengah-tengah perjalanan, berarti itu bukan golongan kita (yang dimaksud bukan
dari jamaah kita).” Saat ceramah usai, berkumpulah sekitar 1500 orang
demonstran yang bergerak menuju kantor Polsek dan Kormil setempat.
Pada waktu berangkat
jamaah pengajian dibagi dua: sebagian menuju Polres dan sebagian menuju Kodim.
Kelompok Yang Menuju Polres Setelah sampai di depan Polres, kira-kia 200 meter
jaraknya, di situ sudah dihadang oleh pasukan ABRI berpakaian perang dalam
posisi pagar betis dengan senjata otomatis di tangan. Massa demonstran
berhadapan langsung dengan pasukan tentara yang siap tempur.
Pada saat pasukan mulai
memblokir jalan protokol, mendadak para demonstran sudah dikepung dari segala
penjuru. Saat itu massa tidaklah beringas, sebagian besar mereka hanya
duduk-duduk sambil mengumandankan takbir.
Sesampainya jamaah
pengajian ke tempat itu, terdengar militer itu berteriak, “Mundur- mundur!”
Teriakan “mundur-mundur” itu disambut oleh jamaah dengan pekik, “Allahu Akbar!
Allahu Akbar!”Saat itu militer mundur dua langkah, tanpa peringatan lebih
dahulu terdengarlah suara tembakan, lalu diikuti oleh pasukan yang langsung
mengarahkan moncong senjatanya ke arah demonstran, lalu memuntahkan
senjata-senjata otomatis dengan sasaran para jamaah pengajian yang berada di
hadapan mereka, selama kurang lebih tiga puluh menit!
Jamaah pengajian lalu
bergelimpangan sambil menjerit histeris, tersungkur berlumuran darah.
Beratus-ratus umat Islam jatuh menjadi syuhada! Disaat para demonstran yang
terluka berusaha bangkit untuk menyelamatkan diri, pada saat yang sama juga
mereka diberondong senjata lagi. Malahan ada anggota militer yang
berteriak,“Bangsat! Pelurunya habis. Anjing-anjing ini masih banyak!” Lebih
sadis lagi, mereka yang belum mati ditendang-tendang dan kalau masih bergerak
maka ditembak lagi sampai mati.
Tak lama berselang datang
konvoi truk militer dari arah pelabuhan menerjang dan menelindas demostran yang
sedang bertiarap di jalan. Dia buah mobil truk besar beroda sepuluh buah dalam kecepatan
tinggi yang penuh dengan pasukan. Dari atas mobil truk besar itu dimuntahkan
peluru-peluru dan senjata-senjata otomatis ke sasaran para jamaah yang sedang
bertiarap dan bersembunyi di pinggir-pinggir jalan. Lebih mengerikan lagi, truk
besar tadi berjalan di atas jamaah pengajian yang sedang tiarap di jalan raya,
melindas mereka yang sudah tertembak atau yang belum tertembak, tetapi belum
sempat menyingkir dari jalan raya yang dilalui oleh mobil truk tersebut.
Jeritan dan bunyi
tulang yang patah dan remuk digilas mobil truk besar terdengar jelas oleh para
jamaah umat Islam yang tiarap di got-got/selokan-selokan di sisi jalan. Dari
atas truk tentara dengan membabi buta masih menembaki para demonstran. Dalam sekejap
jalanan dipenuhi oleh jasad-jasad manusia yang telah mati bersimbah darah. Sedang
beberapa korban yang terluka tidak begitu parah berusaha lari menyelamatkan diri
berlindung ke tempat-tempat disekitar kejadian.
Setelah itu, truk-truk
besar itu berhenti dan turunlah militer-militer itu untuk mengambil mayat-mayat
yang bergelimpangan dan melemparkannya ke dalam truk bagaikan melempar karung
goni. Dua buah mobil truk besar itu penuh oleh mayat-mayat atau orang-orang
yang terkena tembakan yang tersusun bagaikan karung goni. Sembari para tentara
mengusung korban-korban yang mati dan terluka ke dalam truk militer, masih saja
terdengar suara tembakan tanpa henti.
Semua korban dibawa ke
rumah sakit tentara di Jakarta, sementara rumah sakit-rumah sakit yang lain
dilarang keras menerima korban penembakan Tanjung Priok. Sesudah mobil truk
besar yang penuh dengan mayat jamaah pengajian itu pergi, tidak lama kemudian
datanglah mobil-mobilambulans dan mobil pemadam kebakaran yang bertugas
menyiram dan membersihkandarah-darah di jalan raya dan di sisinya, sampai
bersih.
2.
Penanggulangan
Pengadilan HAM Jakarta
Pusat yang berwenang memeriksa dan mengadili perkara pelanggaran HAM berat
Tanjung Priok telah menyelesaikan tugasnya untuk mengadili perkara tersebut
pada pertengahan tahun 2004 yang lalu. Perkara terakhir yang diputuskan oleh Pengadilan
HAM Jakarta Pusat adalah perkara Sutrisno Mascung, dkk, yaitu pada 20 Agustus
2004, dengan putusan terdakwa Sutrisno Mascung, dkk telah terbukti secara sah
dan meyakinkan melakukan pelanggaran HAM yang berat berupa pembunuhan dan
percobaan pembunuhan. Oleh karenanya, terdakwa Sutrisno Mascung, dkk dijatuhi
pidana penjara masing-masing 3 tahun penjara untuk Sutrisno Mascung, dan 2
tahun penjara untuk anggotanya.
Sebelumnya,
Pengadilan HAM Jakarta Pusat juga telah menjatuhkan putusan kepada para
terdakwa lainnya dalam perkara pelanggaran HAM berat Tanjung Priok. Pada 30
April 2004, Majelis Hakim yang mengadili perkara R. Butar-Butar menyatakan
bahwa R. Butar-Butar selaku Komandan Kodim 0502 Jakarta telah terbukti
melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan berupa pembunuhan dan penganiayaan.
Terhadap terdakwa R. Butar-Butar, Majelis Hakim yang dipimpin Cicut Sutiyarso
menjatuhkan pidana berupa pidana penjara selama 10 tahun.
Persidangan
Dalam putusan pertama ,
Majelis Hakim menyatakan bahwa unsur-unsur kejahatan terhadap kemanusiaan telah
terbukti secara sah dan meyakinkan. Menurut Majelis Hakim, unsur-unsur yang
terbukti dalam kejahatan terhadap kemanusiaan dalam peristiwa Tanjung Priok
adalah : adanya serangan, ditujukan terhadap penduduk sipil, serangan yang
meluas atau sistematik. Sedangkan dalam putusan model kedua, unsur-unsur
tersebut tidak terpenuhi.
Mengenai unsur meluas
atau sistematik ini, Majelis Hakim menyatakan bahwa fakta yang diungkapkan
Jaksa Penuntut Umum yang didasarkan pada bukti-bukti yang ditemukan di
persidangan, bukan merupakan bukti adanya serangan sistematik atau meluas sifatnya
yang merupakan unsur dari kejahatan kemanusiaan.
Dalam pertimbangannya,
Majelis Hakim menyatakan bahwa fakta yang dikemukakan oleh Jaksa Penuntut Umum
atas peristiwa tanggal 12 September 1984 yang terjadi di Jalan Yos Soedarso,
Tanjung Priok lebih menunjukkan bukti terjadi bentrokan seketika atau spontan
antara aparat dan massa(bandingkan dengan tuntutan JPU). Dengan demikian,
bentrokan yang terjadi secara spontan atau seketika bukan merupakan delik
adanya kejahatan kemanusiaan atau ciri terjadinya pelanggaran HAM yang berat
karena bentrokan seketika atau spontan merupakan ciri yang biasa yang terjadi
di dalam kejahatan pada umumnya
3.
Komentar
Hingga hari ini tak ada
keadilan yang diberikan bagi korban yang dulunya ditembaki, ditangkap
semena-mena, ditahan secara sewenang-wenang, disiksa, dihilangkan, distigma dan
harta bendanya dirampas serta hak atas pekerjaan dan pendidikannya dirampas.
Masih terang diingatan
korban, bagaimana pembebasan hukum terhadap sejumlah nama yang seharusnya
bertanggung jawab; Sriyanto, Pranowo, Sutrisno Mascung dan RA. Butar-Butar. Kegagalan
Peradilan HAM untuk menghukum sesungguhnya telah tergambar dari buruknya kinerja
Penuntut Umum. Selain menghapus nama (Alm.) LB Moerdani dan Try Sutrisno dalam
proses penyidikan, Kejaksaan Agung justru membuktikan kejahatan luar biasa pada
kasus Tanjung Priok dengan sistempidana umum yang berbasis pada KUHAP.
Kegagalan lain
diakibatkan oleh persoalan politik bahwa tidak adanya jaminan dari otoritas
negara dalam mendukung administratif atas kerja Pengadilan HAM atas kasus
Tanjung Priok. Selain itu Pemerintah tidak menyiapkan sistem perlindungan saksi
yang memadai. Sementara, di pengadilan, Hakim membiarkan upaya sogok-menyogok terjadi
antara pelaku dengan sejumlah saksi untuk mencabut kesaksian. Pengadilan HAM
bukan hanya gagal memberikan kepastian hukum berupa penghukuman terhadap para
pelaku dalam kasus Tanjung Priok, Pengadilan Juga gagal memberikan kebenaran
yang sejati atas kasus Tanjung Priok serta gagal menjamin kepastian reparasi
(Perbaikan) atas penderitaan dan kerugian para korban Kasus Tanjung Priok 1984.
Banyak diantara para
korban yang masih mempertanyakan keberadaan keluarganya yang masih hilang.
Banyak diantara para korban yang sampai hari ini harus menanggung biaya
pengobatan akibat atau efek dari kekerasan yang dialami pada 12 September 1984
atau kekerasan-kekerasan berikutnya.
Banyak diantara para
korban yang harus kehilangan tempat usaha atau pekerjaannya akibat dirampas,
sehingga tidak bisa mendapatkan pekerjaan. Demikian pula para korban yang masih
anak-anak, tidak bisa melanjutkan sekolahnya. Atau anak-anak korban yang
kehilangan ayah atau kakaknya yang diharapkan menjadi penopang ekonomi.
Masyarakat terus
dikorbankan dari perilaku kekerasan, menjadi korban sistem peradilan yang tidak
adil dan jujur. Transisi politik tidak digunakan untuk mengambil pelajaran dari
kegagalan dimasa lalu, sebagaimana yang terjadi pada kasus Tanjung Priok. Akan
tetapi keluarga korban tidak pernah lupa dan akan tetap menuntut pertanggung jawaban
pemerintah atas keadilan, kebenaran, maupun reparasi.
Kesimpulan
Pelanggaran HAM berat
itu menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2000 tentang
Pengadilan HAM dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu, Kejahatan Genosida
dan Kejahatan terhadap kemanusiaan. Kejahatan genosida adalah perbuatan yang
dimaksudkan untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok
bangsa, ras, etnis, agama, dengan berbagai cara. Sedangkan kejahatan terhadap
kemanusiaan adalah perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari penyerangan
yang meluas dan sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditunjukan
secara langsung kepada penduduk sipil.
Dengan melihat kasus pelanggaran HAM diatas,
dalam penyelesaiannya di Indonesia dainggap tidak tuntas. Seperti kasus
Marsinah yang menurut peradilan sudah selesai, namun masih belum diketahui
siapa pembunuhnya, sehingga tidak ada yang diadili. Dan juga Tragedi Tanjung
Priok yang sampai menewaskan kurang lebih 400 jemaah oleh ABRI, yang pada
penyelesaian di pengadilan, para terdakwa dibebeskan dari segala tuntutan dan
hukuman dengan alasan bukan termasuk kasus pelanggaran HAM berat. Jadi,
penegakan HAM di Indonesia ini belum sepenuhnya tegak dan dilaksanakan. Padahal
dengan acuan Pancasila yang sedemikian bagusnya sebagai landasan dalam
penegakan HAM, harusnya penegakan di Indonesia ini sudah dapat tegak dengan
sebagaimana mestinya. Tinggal bagaimana sekarang bangsa Indonesia akan
bersungguh-sungguh menegakan HAM di Indonesia atau malah sebaliknya dengan
penegakan HAM yang masih sangat lemah ini. Semuanya tergantung kepada bangsa
Indonesia itu sendiri.