Senin, 23 Mei 2016

Contoh Jurnal: Pelanggaran HAM



Kasus Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) Di Indonesia:
Kasus Marsinah dan Tragedi Tanjung Priok
Maulana Rafiq Ramadhan
Abstraksi
Pancasila yang merupakan ideologi bangsa Indonesia, dijadikan sebagai acuan adalam penegakkan hak asasi manusia (HAM). Karena Pancasila merupakan ideologi yang mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan. Pancasila sangat menghormati hak asasi setiap warga negara maupun bukan warga negara Indonesia. Pancasila menjamin HAM melalui nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.
Kata-kata kunci
Hak Asasi Manusia (HAM); kasus; pelanggaran
Pendahuluan
Hak Asasi Manusia (HAM) adalah seperangkat hal-hal yang didapatkan oleh individu, bersifat pokok, fundamental, yang merupakan pemberian dari tuhan Yang Maha Esa yang wajib dihormati dan dijunjung tinggi oleh individu lain, dan sudah ada didalam diri setiap manusia dari lahir, serta tidak dapat direbut atau digantikan.
Salah satu karakteristik HAM adalah bersifat universal, artinya, hak asasi merupakan hak yang dimiliki oleh setiap manusia di dunia tanpa membedakan suku bangsa, agama, ras maupun golongan. Oleh karena itu, setiap negara wajib menegakkan HAM. Akan tetapi, karakteristik penegakkan HAM berbeda-beda antar negara satu dengan yang lainnya. Ideologi, kebudayaan dan nilai-nilai khas yang dimiliki suatu negara akan mempengaruhi pola penegakan HAM di suatu negara.
Hak asasi manusia (HAM) diatur dalam UUD 1945 Pasal 28A-28J dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tantang Hak Asasi Manusia. Instrumen-instrumen penegakan HAM tersebut menjadi kekuatan hukum yang mengikat dan memaksa bagi warga negara Indonesia.
Secara yuridis, Pasal 1 Angka 6 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyatakan bahwa pelanggaran hak asasi manusia adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok, termasuk aparat negara, baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara hukum mengurangi, menghalangi, membatasi dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh undang-undang dan tidak mendapatkan atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar berdasarkan mekanisme hukum yang berlangsung.
Pelanggaran HAM dibedakan menjadi Pelanggaran HAM ringan dan Pelanggaran HAM berat. Pelanggaran HAM ringan seperti melecehkan, mengejek, tidak menghargai pendapat orang lain, dan sebagainya. Pelanggaran HAM berat itu menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu, Kejahatan Genosida dan Kejahatan terhadap kemanusiaan. Kejahatan genosida adalah perbuatan yang dimaksudkan untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, etnis, agama, dengan berbagai cara. Sedangkan kejahatan terhadap kemanusiaan adalah perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari penyerangan yang meluas dan sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditunjukan secara langsung kepada penduduk sipil.
Pembahasan
A.    Kasus Marsinah
1.      Kronologis
Pada pertengahan April 1993, para buruh PT. CPS (Catur Putra Surya) pabrik tempat kerja Marsinah resah karena ada kabar kenaikan upah menurut Sudar Edaran Gubernur Jawa Timur. Dalam surat itu termuat himbauan pada para pengusaha untuk menaikkan upah buruh sebesar 20% dari upah pokok. Pada minggu-minggu tersebut, Pengurus PUK-SPSI PT. CPS mengadakan pertemuan di setiap bagian untuk membicarakan kenaikan upah sesuai dengan himbauan dalam Surat Edaran Gubernur. Selanjutnya pada tanggal 3 Mei 1993 seluruh buruh PT. CPS tidak masuk kerja, kecuali staf dan para Kepala Bagian. Hari itu juga, Marsinah pergi ke kantor Depnaker Surabaya untukmencari data tentang daftar upah pokok minimum regional. Data inilah yang ingin Marsinah perlihatkan kepada pihak pengusaha sebagai penguat tuntutan pekerja yang hendak mogok.
Tanggal 4 Mei 1993 pukul 07.00 para buruh PT. CPS melakukan unjuk rasa dengan mengajukan 12 tuntutan. Seluruh buruh dari ketiga shift serentak masuk pagi dan mereka bersama-sama memaksa untuk diperbolehkan masuk ke dalam pabrik. Satpam yang menjaga pabrik menghalang- halangi para buruh shift II dan shift III. Para satpam juga mengibas-ibaskan tongkat pemukul serta merobek poster dan spanduk para pengunjuk rasa sambil meneriakan tuduhan PKI kepada para pengunjuk rasa. Aparat dari koramil dan kepolisian sudah berjaga-jaga di perusahaan sebelum aksi berlangsung. Selanjutnya, Marsinah meminta waktu untuk berunding dengan pengurus PT. CPS. Perundingan berjalan dengan hangat. Dalam perundingan tersebut, sebagaimana dituturkan kawan-kawannya. Marsinah tampak bersemangat menyuarakan tuntutan. Dialah satu-satunya perwakilan dari buruh yang tidak mau mengurangi tuntutan. Khususnya tentang tunjangan tetap yang belum dibayarkan pengusaha dan upah minimum sebesar Rp. 2.250,- per hari sesuai dengan kepmen 50/1992 tentang Upah Minimum Regional. Setelah perundingan yang melelahkan tercapailah kesepakatan bersama.
Namun, pertentangan antara kelompok buruh dengan pengusaha tersebut belum berakhir. Pada tanggal 5 Mei 1993, 13 buruh dipanggil kodim Sidoarjo. Pemanggilan itu diterangkan dalam surat dari kelurahan Siring. Tanpa dasar atau alasan yang jelas, pihak tentara mendesak agar ke-13 buruh itu menandatangani surat PHK. Para buruh terpaksa menerima PHK karena tekanan fisik dan psikologis yang bertubi-tubi. Dua hari kemudian menyusul 8 buruh di-PHK di tempat yang sama. Marsinah bahkan sempat mendatangi Kodim Sidoarjo untuk menanyakan keberadaan rekan-rekannya yang sebelumnya dipanggil pihak Kodim. Setelah itu, sekitar pukul 10 malam, Marsinah lenyap. Marsinah marah saat mengetahui perlakuan tentara kepada kawan-kawannya. Selanjutnya, Marsinah mengancam pihak tentara bahwa Ia akan melaporkan perbuatan sewenang-wenang terhadap para buruh tersebut kepada Pamannya yang berprofesi sebagai Jaksa di Surabaya dengan membawa surat panggilan kodim milik salah seorang kawannya. Mulai tanggal 6,7,8, keberadaan Marsinah tidak diketahui oleh rekan-rekannya sampai akhirnya ditemukan telah menjadi mayat pada tanggal 9 Mei 1993
Mayatnya ditemukan di gubuk petani dekat hutan Wilangan, Nganjuk tanggal 9 Mei 1993. Ia yang tidak lagi bernyawa ditemukan tergeletak dalam posisi melintang. Sekujur tubuhnya penuh luka memar bekas pukulan benda keras. Kedua pergelangannya lecet-lecet, mungkin karena diseret dalam keadaan terikat. Tulang panggulnya hancur karena pukulan benda keras berkali-kali. Di sela-sela pahanya ada bercak-bercak darah, diduga karena penganiayaan dengan benda tumpul. Pada bagian yang sama menempel kain putih yang berlumuran darah. Mayatnya ditemukan dalam keadaan lemas, mengenaskan.
2.     Penanggulangan
Tanggal 30 September 1993 telah dibentuk Tim Terpadu Bakorstanasda Jatim untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan kasus pembunuhan Marsinah. Sebagai penanggung jawab Tim Terpadu adalah Kapolda Jatim dengan Dan Satgas Kadit Reserse Polda Jatim dan beranggotakan penyidik/penyelidik Polda Jatim serta Den Intel Brawijaya. Delapan petinggi PT CPS ( Yudi Susanto, 45 tahun, pemilik pabrik PT CPS Rungkut dan Porong; Yudi Astono , 33 tahun, pemimpin pabrik PT CPS Porong; Suwono, 48 tahun, kepala satpam pabrik PT CPS Porong; Suprapto , 22 tahun, satpam pabrik PT CPS Porong; Bambang Wuryantoyo , 37 tahun, karyawan PT CPS Porong; Widayat, 43 tahun, karyawan dan sopir di PT CPS Porong; Achmad Sutiono Prayogi , 57 tahun, satpam pabrik PT. CPS Porong; Karyono Wongso alias Ayip, 37 tahun, kepala bagian produksi PT CPS Porong) ditangkap secara diam-diam dan tanpa prosedur resmi, termasuk Mutiari, 26 tahun, selaku Kepala Personalia PT CPS dan satu- satunya perempuan yang ditangkap, mengalami siksaan fisik maupun mental selama diinterogasi di sebuah tempat yang kemudian diketahui sebagai Kodam V Brawijaya. Setiap orang yang diinterogasi dipaksa mengaku telah membuat scenario dan menggelar rapat untuk membunuh Marsinah.
Baru 18 hari kemudian, akhirnya diketahui mereka sudah mendekam di tahanan Polda Jatim dengan tuduhan terlibat pembunuhan Marsinah. Pengacara Yudi Susanto, Trimoelja D. Soerjadi, mengungkap adanya rekayasa oknum aparat kodim untuk mencari kambing hitam pembunuh Marsinah. Secara resmi, Tim Terpadu telah menangkap dan memeriksa 10 orang yang diduga terlibat pembunuhan terhadap Marsinah. Salah seorang dari 10 orang yang diduga terlibat pembunuhan tersebut adalah Anggota TNI. Pasal yang dipersangkakan Penyidik Polda Jatim terhadap para tersangka dalam Kasus Marsinah tersebut antara lain Pasal 340 KUHP, 255 KUHP, 333 KUHP, hingga 165 KUHP jo Pasal 56 KUHP.
Hasil penyidikan polisi ketika menyebutkan, Suprapto (pekerja di bagian kontrol CPS) menjemput Marsinah dengan motornya di dekat rumah kos Marsinah. Dia dibawa ke pabrik, lalu dibawa lagi dengan Suzuki Carry putih ke rumah Yudi Susanto di Jalan Puspita, Surabaya. Setelah tiga hari Marsinah disekap, Suwono (satpam CPS) mengeksekusinya. Di pengadilan, Yudi Susanto divonis 17 tahun penjara, sedangkan sejumlah stafnya yang lain itu dihukum berkisar empat hingga 12 tahun, namun mereka naik banding ke Pengadilan Tinggi dan Yudi Susanto dinyatakan bebas. Dalam proses selanjutnya pada tingkat kasasi, Mahkamah Agung Republik Indonesia membebaskan para terdakwa dari segala dakwaan (bebas murni) Jaksa / Penuntut Umum. Putusan Mahkamah Agung RI tersebut, setidaknya telah menimbulkan ketidakpuasan sejumlah pihak sehingga muncul tuduhan bahwa penyelidikan kasus ini adalah "direkayasa" .
3.      Komentar
Kasus Marsinah merupakan kejadian yang memilukan, dimana seorang buruh yang menuntut haknya harus kehilangan nyawanya dengan tragis. Selain itu, dalam proses pengadilan, tidak ditetapkan siapa yang menjadi pembunuh dalam kasus tersebut, sehingga tidak ada yang diadili dan dihukum.
Kejadian seperti ini mengingatkan kepada kita semua, bahwa dalam kehidupan baik dalam lingkup masyarakat maupun berbangsa dan bernegara haruslah kita menjunjung HAM orang lain yang sama-sama harus kita hormati. Dengan cara seperti itu, dapat mencegah terjadinya lagi kasus seperti Kasus Marsinah ini. Selain itu juga, harusnya pemerintah, khususnya pengadilan harus memberikan keputusan yang sebaik-baiknya, tanpa adanya tindakan tercela seperti penyuapan ataupun yang lainnya, yang dapat menimbulkan rasa tidak percaya masyaratak terhadap kepastian hokum di Indonesia.
B.     Tragedi Tanjung Priok
1.     Kronologis
Sabtu, 8 September 1984
Dua orang petugas Koramil (Babinsa) tanpa membuka sepatu, memasuki Mushala As-Sa’adah di gang IV Koja, Tanjung Priok, Jakarta Utara. Mereka menyiram pengumuman yang tertempel di tembok mushala dengan air got (comberan). Pengumuman tadi hanya berupa undangan pengajian remaja Islam (masjid) di Jalan Sindang.
Ahad, 9 September 1984
Peristiwa hari Sabtu (8 September 1984) di Mushala as-Sa’adah menjadi pembicaran masyarakat tanpa ada usaha dari pihak yang berwajib untuk menawarkan penyelesaan kepada jamaah kaum muslimin.
Senin, 10 September 1984
Beberapa anggota jamaah Mushala As-Sa’adah berpapasan dengan salah seorang petugas Koramil yang mengotori mushala mereka. Terjadilah pertengkaran mulut yang akhirnya dilerai oleh dua orang dari jamaah Masjid Baitul Makmur yang kebetulan lewat yaitu Syarifuddin Rmbe dan Sofyan Sulaiman dua orang takmir masjid “Baitul Makmur” yang berdekatan dengan Musholla As-sa’adah, berusaha menenangkan suasana dengan mengajak ke dua tentara itu masuk ke dalam sekretarit takmir mesjid untuk membicarakan masalah yang sedang hangat.
Ketika mereka sedang berbicara di depan kantor, massa diluar sudah terkumpul. Kedua pengurus takmir masjid itu menyarankan kepada kedua tentara tadi supaya persoalaan disudahi dan dianggap selesai saja. Tapi mereka menolak saran tersebut. Massa diluar sudah mulai kehilangan kesabarannya.
Sementara usaha penegahan sedang berlangsung, orang-orang yang tidak bertanggung jawab dan tidak ada urusannya dengan permasalahan itu tiba-tiba saja menarik salah satu sepeda motor milik prajurit yang ternyata seorang marinir dan membakarnya. Saat itu juga Syarifuddin Rambe dan Sofyan Sulaiman beserta dua orang lainnya ditangkap aparat keamanan. Turut ditangkap juga Ahmad Sahi, Pengurus Musholla As-Sa’adah dan satu orang lagi yang saat itu berada di tempat kejadian, selanjutnya Mohammad Nur yang membakar motor ditangkap juga. Akibat penahanan empat orang tadi kemarahan massa menjadi tak terbendung lagi, yang kemudian memunculkan tuntutan pembebasan ke empat orang yang ditangkap tadi.
Kodim, yang diminta bantuan oleh Koramil, mengirim sejumlah tentara dan segera melakukan penangkapan. Ikut tertangkap 4 orang jamaah, di antaranya termasuk Ketua Mushala As-Sa’adah tersebut.
 Selasa, 11 September 1984
Pada tanggal 11 September 1984, Massa yang masih memendam kemarahannya itu datang ke salah satu tokoh didaerah itu yang bernama Amir Biki, karena tokoh ini dikenal dekat dengan para perwira di Jakarta. Maksudnya agar ia mau turun tangan membantu membebaskan para tahanan.
Sudah sering kali Amir Biki menyelesaikan persoalan yang timbul dengan pihak militer. Amir Biki menghubungi pihak-pihak yang berwajib untuk meminta pembebasan empat orang jamaah yang ditahan oleh Kodim, yang diyakininya tidak bersalah. Peran Amir Biki ini tidak perlu mengherankan, karena sebagai salah seorang pimpinan Posko 66, dialah orang yang dipercaya semua pihak yang bersangkutan untuk menjadi penengah jika ada masalah antara penguasa (militer) dan masyarakat. Usaha Amir Biki untuk meminta keadilan ternyata tidak berhasil dan sia-sia.
Rabu, 12 September 1984
Dalam suasana tantangan yang demikian, acara pengajian remaja Islam di Jalan Sindang Raya, yang sudah direncanakan jauh sebelum ada peristiwa Mushala As-Sa’adah, terus berlangsung juga. Penceramahnya tidak termasuk Amir Biki, yang memang bukan mubalig dan memang tidak pernah mau naik mimbar. Akan tetapi, dengan latar belakang rangkaian kejadian di hari-hari sebelumnya, jemaah pengajian mendesaknya untuk naik mimbar dan memberi petunjuk. Pada kesempatan pidato itu, Amir Biki berkata antara lain, “Mari kita buktikan solidaritas islamiyah. Kita meminta teman kita yang ditahan di Kodim. Mereka tidak bersalah. Kita protes pekerjaan oknum-oknum ABRI yang tidak bertanggung jawab itu. Kita berhak membela kebenaran meskipun kita menanggung risiko. Kalau mereka tidak dibebaskan maka kita harus memprotesnya.”
Dihadapan massa, Amir biki berbicara dengan keras, yang isinya mengultimatum agar membebaskan para tahanan paling lambat pukul 23.00 Wib malam itu juga. Bila tidak, mereka akan mengerahkan massa untuk melakukan demonstrasi.
Selanjutnya, Amir Biki berkata, “Kita tidak boleh merusak apa pun! Kalau ada yang merusak di tengah-tengah perjalanan, berarti itu bukan golongan kita (yang dimaksud bukan dari jamaah kita).” Saat ceramah usai, berkumpulah sekitar 1500 orang demonstran yang bergerak menuju kantor Polsek dan Kormil setempat.
Pada waktu berangkat jamaah pengajian dibagi dua: sebagian menuju Polres dan sebagian menuju Kodim. Kelompok Yang Menuju Polres Setelah sampai di depan Polres, kira-kia 200 meter jaraknya, di situ sudah dihadang oleh pasukan ABRI berpakaian perang dalam posisi pagar betis dengan senjata otomatis di tangan. Massa demonstran berhadapan langsung dengan pasukan tentara yang siap tempur.
Pada saat pasukan mulai memblokir jalan protokol, mendadak para demonstran sudah dikepung dari segala penjuru. Saat itu massa tidaklah beringas, sebagian besar mereka hanya duduk-duduk sambil mengumandankan takbir.
Sesampainya jamaah pengajian ke tempat itu, terdengar militer itu berteriak, “Mundur- mundur!” Teriakan “mundur-mundur” itu disambut oleh jamaah dengan pekik, “Allahu Akbar! Allahu Akbar!”Saat itu militer mundur dua langkah, tanpa peringatan lebih dahulu terdengarlah suara tembakan, lalu diikuti oleh pasukan yang langsung mengarahkan moncong senjatanya ke arah demonstran, lalu memuntahkan senjata-senjata otomatis dengan sasaran para jamaah pengajian yang berada di hadapan mereka, selama kurang lebih tiga puluh menit!
Jamaah pengajian lalu bergelimpangan sambil menjerit histeris, tersungkur berlumuran darah. Beratus-ratus umat Islam jatuh menjadi syuhada! Disaat para demonstran yang terluka berusaha bangkit untuk menyelamatkan diri, pada saat yang sama juga mereka diberondong senjata lagi. Malahan ada anggota militer yang berteriak,“Bangsat! Pelurunya habis. Anjing-anjing ini masih banyak!” Lebih sadis lagi, mereka yang belum mati ditendang-tendang dan kalau masih bergerak maka ditembak lagi sampai mati.
Tak lama berselang datang konvoi truk militer dari arah pelabuhan menerjang dan menelindas demostran yang sedang bertiarap di jalan. Dia buah mobil truk besar beroda sepuluh buah dalam kecepatan tinggi yang penuh dengan pasukan. Dari atas mobil truk besar itu dimuntahkan peluru-peluru dan senjata-senjata otomatis ke sasaran para jamaah yang sedang bertiarap dan bersembunyi di pinggir-pinggir jalan. Lebih mengerikan lagi, truk besar tadi berjalan di atas jamaah pengajian yang sedang tiarap di jalan raya, melindas mereka yang sudah tertembak atau yang belum tertembak, tetapi belum sempat menyingkir dari jalan raya yang dilalui oleh mobil truk tersebut.
Jeritan dan bunyi tulang yang patah dan remuk digilas mobil truk besar terdengar jelas oleh para jamaah umat Islam yang tiarap di got-got/selokan-selokan di sisi jalan. Dari atas truk tentara dengan membabi buta masih menembaki para demonstran. Dalam sekejap jalanan dipenuhi oleh jasad-jasad manusia yang telah mati bersimbah darah. Sedang beberapa korban yang terluka tidak begitu parah berusaha lari menyelamatkan diri berlindung ke tempat-tempat disekitar kejadian.
Setelah itu, truk-truk besar itu berhenti dan turunlah militer-militer itu untuk mengambil mayat-mayat yang bergelimpangan dan melemparkannya ke dalam truk bagaikan melempar karung goni. Dua buah mobil truk besar itu penuh oleh mayat-mayat atau orang-orang yang terkena tembakan yang tersusun bagaikan karung goni. Sembari para tentara mengusung korban-korban yang mati dan terluka ke dalam truk militer, masih saja terdengar suara tembakan tanpa henti.
Semua korban dibawa ke rumah sakit tentara di Jakarta, sementara rumah sakit-rumah sakit yang lain dilarang keras menerima korban penembakan Tanjung Priok. Sesudah mobil truk besar yang penuh dengan mayat jamaah pengajian itu pergi, tidak lama kemudian datanglah mobil-mobilambulans dan mobil pemadam kebakaran yang bertugas menyiram dan membersihkandarah-darah di jalan raya dan di sisinya, sampai bersih.
2.      Penanggulangan
Pengadilan HAM Jakarta Pusat yang berwenang memeriksa dan mengadili perkara pelanggaran HAM berat Tanjung Priok telah menyelesaikan tugasnya untuk mengadili perkara tersebut pada pertengahan tahun 2004 yang lalu. Perkara terakhir yang diputuskan oleh Pengadilan HAM Jakarta Pusat adalah perkara Sutrisno Mascung, dkk, yaitu pada 20 Agustus 2004, dengan putusan terdakwa Sutrisno Mascung, dkk telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan pelanggaran HAM yang berat berupa pembunuhan dan percobaan pembunuhan. Oleh karenanya, terdakwa Sutrisno Mascung, dkk dijatuhi pidana penjara masing-masing 3 tahun penjara untuk Sutrisno Mascung, dan 2 tahun penjara untuk anggotanya.
            Sebelumnya, Pengadilan HAM Jakarta Pusat juga telah menjatuhkan putusan kepada para terdakwa lainnya dalam perkara pelanggaran HAM berat Tanjung Priok. Pada 30 April 2004, Majelis Hakim yang mengadili perkara R. Butar-Butar menyatakan bahwa R. Butar-Butar selaku Komandan Kodim 0502 Jakarta telah terbukti melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan berupa pembunuhan dan penganiayaan. Terhadap terdakwa R. Butar-Butar, Majelis Hakim yang dipimpin Cicut Sutiyarso menjatuhkan pidana berupa pidana penjara selama 10 tahun.
Persidangan
Dalam putusan pertama , Majelis Hakim menyatakan bahwa unsur-unsur kejahatan terhadap kemanusiaan telah terbukti secara sah dan meyakinkan. Menurut Majelis Hakim, unsur-unsur yang terbukti dalam kejahatan terhadap kemanusiaan dalam peristiwa Tanjung Priok adalah : adanya serangan, ditujukan terhadap penduduk sipil, serangan yang meluas atau sistematik. Sedangkan dalam putusan model kedua, unsur-unsur tersebut tidak terpenuhi.
Mengenai unsur meluas atau sistematik ini, Majelis Hakim menyatakan bahwa fakta yang diungkapkan Jaksa Penuntut Umum yang didasarkan pada bukti-bukti yang ditemukan di persidangan, bukan merupakan bukti adanya serangan sistematik atau meluas sifatnya yang merupakan unsur dari kejahatan kemanusiaan.
Dalam pertimbangannya, Majelis Hakim menyatakan bahwa fakta yang dikemukakan oleh Jaksa Penuntut Umum atas peristiwa tanggal 12 September 1984 yang terjadi di Jalan Yos Soedarso, Tanjung Priok lebih menunjukkan bukti terjadi bentrokan seketika atau spontan antara aparat dan massa(bandingkan dengan tuntutan JPU). Dengan demikian, bentrokan yang terjadi secara spontan atau seketika bukan merupakan delik adanya kejahatan kemanusiaan atau ciri terjadinya pelanggaran HAM yang berat karena bentrokan seketika atau spontan merupakan ciri yang biasa yang terjadi di dalam kejahatan pada umumnya
3.      Komentar
Hingga hari ini tak ada keadilan yang diberikan bagi korban yang dulunya ditembaki, ditangkap semena-mena, ditahan secara sewenang-wenang, disiksa, dihilangkan, distigma dan harta bendanya dirampas serta hak atas pekerjaan dan pendidikannya dirampas.
Masih terang diingatan korban, bagaimana pembebasan hukum terhadap sejumlah nama yang seharusnya bertanggung jawab; Sriyanto, Pranowo, Sutrisno Mascung dan RA. Butar-Butar. Kegagalan Peradilan HAM untuk menghukum sesungguhnya telah tergambar dari buruknya kinerja Penuntut Umum. Selain menghapus nama (Alm.) LB Moerdani dan Try Sutrisno dalam proses penyidikan, Kejaksaan Agung justru membuktikan kejahatan luar biasa pada kasus Tanjung Priok dengan sistempidana umum yang berbasis pada KUHAP.
Kegagalan lain diakibatkan oleh persoalan politik bahwa tidak adanya jaminan dari otoritas negara dalam mendukung administratif atas kerja Pengadilan HAM atas kasus Tanjung Priok. Selain itu Pemerintah tidak menyiapkan sistem perlindungan saksi yang memadai. Sementara, di pengadilan, Hakim membiarkan upaya sogok-menyogok terjadi antara pelaku dengan sejumlah saksi untuk mencabut kesaksian. Pengadilan HAM bukan hanya gagal memberikan kepastian hukum berupa penghukuman terhadap para pelaku dalam kasus Tanjung Priok, Pengadilan Juga gagal memberikan kebenaran yang sejati atas kasus Tanjung Priok serta gagal menjamin kepastian reparasi (Perbaikan) atas penderitaan dan kerugian para korban Kasus Tanjung Priok 1984.
Banyak diantara para korban yang masih mempertanyakan keberadaan keluarganya yang masih hilang. Banyak diantara para korban yang sampai hari ini harus menanggung biaya pengobatan akibat atau efek dari kekerasan yang dialami pada 12 September 1984 atau kekerasan-kekerasan berikutnya.
Banyak diantara para korban yang harus kehilangan tempat usaha atau pekerjaannya akibat dirampas, sehingga tidak bisa mendapatkan pekerjaan. Demikian pula para korban yang masih anak-anak, tidak bisa melanjutkan sekolahnya. Atau anak-anak korban yang kehilangan ayah atau kakaknya yang diharapkan menjadi penopang ekonomi.
Masyarakat terus dikorbankan dari perilaku kekerasan, menjadi korban sistem peradilan yang tidak adil dan jujur. Transisi politik tidak digunakan untuk mengambil pelajaran dari kegagalan dimasa lalu, sebagaimana yang terjadi pada kasus Tanjung Priok. Akan tetapi keluarga korban tidak pernah lupa dan akan tetap menuntut pertanggung jawaban pemerintah atas keadilan, kebenaran, maupun reparasi.
Kesimpulan
Pelanggaran HAM berat itu menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu, Kejahatan Genosida dan Kejahatan terhadap kemanusiaan. Kejahatan genosida adalah perbuatan yang dimaksudkan untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, etnis, agama, dengan berbagai cara. Sedangkan kejahatan terhadap kemanusiaan adalah perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari penyerangan yang meluas dan sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditunjukan secara langsung kepada penduduk sipil.
Dengan melihat kasus pelanggaran HAM diatas, dalam penyelesaiannya di Indonesia dainggap tidak tuntas. Seperti kasus Marsinah yang menurut peradilan sudah selesai, namun masih belum diketahui siapa pembunuhnya, sehingga tidak ada yang diadili. Dan juga Tragedi Tanjung Priok yang sampai menewaskan kurang lebih 400 jemaah oleh ABRI, yang pada penyelesaian di pengadilan, para terdakwa dibebeskan dari segala tuntutan dan hukuman dengan alasan bukan termasuk kasus pelanggaran HAM berat. Jadi, penegakan HAM di Indonesia ini belum sepenuhnya tegak dan dilaksanakan. Padahal dengan acuan Pancasila yang sedemikian bagusnya sebagai landasan dalam penegakan HAM, harusnya penegakan di Indonesia ini sudah dapat tegak dengan sebagaimana mestinya. Tinggal bagaimana sekarang bangsa Indonesia akan bersungguh-sungguh menegakan HAM di Indonesia atau malah sebaliknya dengan penegakan HAM yang masih sangat lemah ini. Semuanya tergantung kepada bangsa Indonesia itu sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar