Seks
pada hakekatnya merupakan dorongan narluri alamiah tentang kepuasan syahwat.
Tetapi banyak kalangan yang secara ringkas mengatakan bahwa seks itu adalah
istilah lain dari Jenis kelamin yang membedakan antara pria dan wanita. Jika
kedua jenis seks ini bersatu, maka disebut perilaku seks. Sedangkan perilaku
seks dapat diartikan sebagai suatu perbuatan untuk menyatakan cinta dan
menyatukan kehidupan secara intim. Ada pula yang mengatakan bahwa seks
merupakan hadiah untuk memenuhi atau memuaskan hasrat birahi pihak lain. Akan
tetapi sebagai manusia yang beragama, berbudaya, beradab dan bermoral, seks
merupakan dorongan emosi cinta suci yang dibutuhkan dalam angka mencapai
kepuasan nurani dan memantapkan kelangsungan keturunannya.
Tegasnya,
orang yang ingin mendapatkan cinta dan keturunan, maka ia akan melakukan
hubungan seks dengan lawan jenisnya. Perilaku seks merupakan salah satu
kebutuhan pokok yang senantiasa mewarnai pola kehidupan manusia dalam
masyarakat. Perilaku seks sangat dipengaruhi oleh nilai dan norma budaya yang
berlaku dalam masyarakat. Setiap golongan masyarakat memiliki persepsi dan
batas kepentingan tersendiri terhadap perilaku seks. Bagi golongan masyarakat
tradisional yang terikat kuat dengan nilai dan norma, agama serta moralitas
budaya, cenderung memandang seks sebagai suatu perilaku yang bersifat rahasia
dan tabu untuk dibicarakan secara terbuka, khususnya bagi golongan yang
dianggap belum cukup dewasa. Para orang tua pada umumnya menutup pembicaraan
tentang seks kepada anak-anaknya, termasuk mereka sendiri sebagai suami isteri
merasa risih dan malu berbicara tentang seks.
Bagi kalangan ini perilaku seksual diatur
sedemikian rupa dengan ketentuan-ketentuan hukum adat, Agama dan ajaran
moralitas, dengan tujuan agar dorongan perilaku seks yang alamiah ini dalam
prakteknya sesuai dengan batas-batas kehormatan dan kemanusiaan. Biasanya
hubungan intim antara dua orang lawan jenis cenderung 3 bersifat emosional
primer, dan apabila terpisah atau mendapat hambatan, maka keduanya akan merasa
terganggu atau kehilangan jati dirinya. Berbeda dengan hubungan intim yang
terjadi dalam kehidupan masyarakat modern, biasanya cenderung bersifat rasional
sekunder. Anak-anak yang mulai tumbuh remaja lebih suka berbicara seks
dikalangan teman-temannya. Jika hubungan intim itu terpisah atau mendapat
hambatan, maka mereka tidak akan kehilangan jati diri dan lebih cepat untuk
menyesuaikan diri dengan kehidupan dalam lingkungan pergaulan lainnya.
Lembaga
keluarga yang bersifat universal dan multi fungsional, baik pengawasan sosial,
pendidikan keagamaan dan moral, memelihara, perlindungan dan rekreasi terhadap
anggota-anggota keluarganya, dalam berhadapan dengan proses modernitas sosial,
cenderung kehilangan fungsinya. Sebagai konsekuensi proses sosialisasi norma-norma
yang berhubungan batas-batas pola dan etika pergaulan semakin berkurang, maka
pengaruh pola pergaulan bebas cenderung lebih dominan merasuk kedalam kebiasaan
baru. Seks sebagai kebutuhan manusia yang alamiah tersebut dalam upaya
pemenuhannya cenderung didominasi oleh dorongan naluri seks secara subyektif.
Akibatnya sering terjadi penyimpangan dan pelanggaran perilaku seks di luar
batas hak-hak kehormatan dan tata susila kemanusiaan. Latar belakang terjadinya
perilaku seks bebas pada umumnya dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu:
1. Gagalnya sosialisasi norma-norma dalam
keluarga, terutama keyakinan agama dan moralitas;
2. Semakin terbukanya peluang
pergaulan bebas; setara dengan kuantitas pengetahuan tentang perilaku seks pada
lingkungan sosial dan kelompok pertemanan;
3. Kekosongan aktivitas-aktivitas
fisik dan rasio dalam kehidupan sehari-hari;
4. Sensitifitas penyerapan dan
penghayatan terhadap struktur pergaulan dan seks bebas relatif tinggi;
5. Rendahnya konsistensi
pewarisan contoh perilaku tokoh-tokoh masyarakat dan lembaga-lembaga sosial
yang berwenang;
6. Rendahnya keperdulian dan
kontrol sosial masyarakat;
7. Adanya kemudahan dalam
mengantisipasi resiko kehamilan;
8. Rendahnya pengetahuan tentang
kesehatan dan resiko penyakit berbahaya;
9. Sikap perilaku dan busana yang
mengundang desakan seks;
10. Kesepian, berpisah dengan
pasangan terlalu lama, atau karena keinginan untuk menikmati sensasi seks di
luar rutinitas rumah tangga; 4
11. Tersedianya lokalisasi atau
legalitas pekerja seks. Berdasarkan alasan tersebut, maka semakin terbukalah
pergaulan bebas antara pria dan wanita, baik bagi kalangan remaja maupun
kalangan yang sudah berumah tangga. Hal ini dimungkinkan karena sosialisasi
norma dalam keluarga tidak efektif, sementara cabang hubungan pergaulan dengan
berbagai pola perilaku seks di luar rumah meningkat yang kemudian mendominasi
pembentukan kepribadian baru. Kalangan remaja pada umumnya lebih sensitif
menyerap struktur pergaulan bebas dalam kehidupan masyarakat. Bagi suami isteri
yang bekerja di luar rumah, tidak mustahil semakin banyak meninggalkan
norma-norma dan tradisi keluarga sebelumnya, kemudian dituntut untuk
menyesuaikan diri dalam sistem pergaulan baru, termasuk pergaulan intim dengan
lawan jenis dalam peroses penyelesaian pekerjaan.
Kondisi pergaulan semacam ini seseorang tidak
hanya mungkin menjauh dari perhitungan nilai harmonisasi keluarga, akan tetapi
selanjutnya semakin terdorong untuk mengejar karier dalam perhitungan ekonomis
material. Kenyataan ini secara implisit melembaga, dimaklumi, lumrah, dan
bahkan merupakan kebutuhan baru bagi sebagian besar keluarga dalam masyarakat
modern. Kebutuhan baru ini menuntut seseorang untuk membentuk sistem pergaulan
modernitas yang cenderung meminimalisasi ikatan moral dan kepedulian terhadap
hukum-hukum agama. Sementara di pihak lain, jajaran pemegang status terhormat
sebagai sumber pewarisan norma, seperti penegak hukum, para pemimpin formal,
tokoh masyarakat dan agama, ternyata tidak mampu berperan dengan contoh-contoh
perilaku yang sesuai dengan statusnya.
Sebagai
konsekuensinya adalah membuka peluang untuk mencari kebebasan di luar rumah.
Khususnya dalam pergaulan lawan jenis pada lingkungan bebas norma dan rendahnya
kontrol sosial, cenderung mengundang hasrat dan kebutuhan seks seraya
menerapkannya secara bebas. Bagi kalangan remaja, seks merupakan indikasi
kedewasaan yang normal, akan tetapi karena mereka tidak cukup mengetahui secara
utuh tentang rahasia dan fungsi seks, maka lumrah kalau mereka menafsirkan seks
semata-mata sebagai tempat pelampiasan birahi, tak perduli resiko. Kendatipun
secara sembunyi-sembunyi mereka merespon gosip tentang seks diantara
kelompoknya, mereka menganggap seks sebagai bagian penting yang tidak bisa
dipisahkan dari kehidupan remaja. Kelakar pornografi merupakan kepuasan
tersendiri, sehinga mereka semakin terdorong untuk lebih dekat mengenal
lika-liku seks sesungguhnya. Jika immajinasi seks ini memperoleh tanggapan yang
sama dari pasangannya, maka tidak mustahil kalau harapan-harapan indah yang
termuat dalam konsep seks ini benarbenar dilakukan. 5
II.
Popularitas Perilaku Seks Bebas dalam
kehidupan masyarakat
Pupulernya
perilaku seks di luar nikah, karena adanya tekanan dari teman-temannya atau
mungkin dari pasangannya sendiri. Kemudian disusul oleh dorongan kebutuhan
nafsu seks secara emosional, di samping karena rendahnya pemahaman tentang
makna cinta dan rasa keingintahuan yang tinggi tentang seks. Beberapa hasil
penelitian mengungkapkan bahwa gadis melakukan seks di luar nikah karena
tekanan teman-temannya sesama wanita. Teman-temannya mengatakan bahwa:
"Semua gadis modern melakukannya, kalau tidak, ya.., termasuk gadir
kampungan"; "Jaman sekarang tak ada lagi perawan-perawanan, nikmati
saja hidup ini dengan keindahan". Dengan demikian Ia melakukannya hanya
untuk membuktikan bahwa iapun sama normalnya dengan kelompok teman modernnya
yang telah terperangkap dalam penyimpangan moral. Ia ingin tetap diterima oleh
kelompok temannya secara berlebihan, sehingga mengalahkan kepribadian dan citra
diri. Pengakuan lain, bahwa melakukan seks dengan alasan agar cinta pasangannya
semakin kuat, dan apabila aku tidak melakukannya, berarti aku tidak bisa
menunjukkan bukti cintaku kepadanya. Kecuali itu, karena mereka telah
beribu-ribu kali memperoleh informasi tentang kehebatan dan kedahsyatan seks
itu, baik dari pergaulan sehari-hari maupun dari mass media, seperti televisi,
film, show, majalah dan brosur-brosur porno yang cenderung mengagungkan
kehidupan seks inkonvensional, dimana terdapat kemudahan untuk berkencan intim,
berpegangan, berpelukan, meraba, dan bahkan tidur bersama. Gosip-gosip seks
secara bertubi-tubi dan secara berantai telah membakar rasa penasaran mereka
terhadap seks, sehingga timbul pertanyaan dalam hayal mereka: "seperti apa
sih rasanya seks itu"?, "apa benar sedahsyat yang dikatakan
orang"? Dalam perasaan penasasan, mereka akhirnya mencari tahu sendiri
dengan riset partisipatif. Setelah seks itu ditemukan dalam praktek, lalu
semuanya terjawab dan ternyata sesuai dengan hipotesis, sehingga terbentuklah
perilaku yang namanya KETAGIHAN. 6 "kalau sudah basah, sekalian mandi
saja; sekali terlanjur, lebih baik seterusnya". Mantan perawan sekali
nge-seks, sama artinya melakukan 6 atau 7 kali, toh perawan tak akan kembali, mengapa
harus dibatasi? Di sinilah awal mulanya tumbuh pernyataan perang dari mereka
terhadap segala macam norma yang membatasi kebebasan seks. Secara teoritis
memang hubungan cinta ada yang bersifat platonis, yaitu cinta tanpa unsur nafsu
badaniah terhadap kekasihnya. Cinta semacam ini pada perinsipnya mengandung
semangat "apa yang dapat aku lakukan untukmu". Akan tetapi secara
umum dalam perkembangannya, seks lebih didambakan secara fisik, ketimbang
hubungan cinta dan kasih sayang. Sebagian pihak menganggap hubungan cinta
dianggap sebagai alasan untuk memperoleh kepuasan seks semata. Di sinilah seks
menjadi kepanjangan dari perasaan cinta. Kisah cinta yang konvensional dianggap
tidak variatif, cengeng, ketinggalan jaman dan tidak jantan. Menanggapi
perkembangan pemahaman pola kehidupan seks tersebut, dapat diasumsikan bahwa
orang masa kini cenderung "lebih cepat jatuh seks ketimbang jatuh
cinta". Cinta dan seks dikondisikan sebagai wujud sikap dan perilaku
majemuk yang sekaligus mengandung unsur nilai persahabatan, pergaulan intim,
menikmati kebersamaan, kasih sayang, hubungan seks, dan saling mempercayai
antar sesama lawan jenisnya tanpa batas yang tegas. Dalam hubungan seks pada
umumnya terdapat proses kesepakatan bahwa masing-masing pelaku berbuat secara
sukarela dan bebas dari ikatan norma atau jaminan resiko jangka panjang. Semua
perilaku seks disepakati sebagai sebuah kemerdekaan yang bebas dari tuntutan
moral. Hubungan cinta cenderung tidak konsisten, tergantung kapan datangnya
letupan perasaan kebutuhan seksual. Keperdulian terhadap kepentingan dan
kegelisahan orang lain sering diwujudkan dalam katakata dan tindakan yang semu
sebagai dalih atau muslihat untuk memperoleh hubungan seks. Kata-kata yang
mengatasnamakan cinta sering dilontarkan sebagai jebakan yang sebenarnya
mengandung unsur pemaksaan. Beberapa contoh pernyataan yang umum dilontarkan
untuk memperoleh kesepakatan hubungan seks, misalnya: "Aku sudah terlalu
lama menunggu, kalau malam ini kamu menolak, lupakan saja semuanya".
"Aku bawa kondom sutra kok, tidak ada masalah". "Kamu kan bagian
dari hidupku, dan aku bagian dari hidupmu, ayo dong!". "Toh tak ada
bedanya isteri dan calon isteri. Kita toh siap kawin kalau ada apa-apa". 7
"Aku bisa saja dengan gadis lain, tapi aku hanya membutuhkan persatuan
jiwa raga dengan engkau seorang". "Jika kamu benar-benar cinta, maka
kamu tak akan tega menyiksa aku". Ungkapan-ungkapan tersebut sebenarnya
bermaksud agar pasangannya tidak menunda-nunda hubungan seks yang dituntutnya.
Jika kebutuhan terpenuhi, maka sementara waktu berikutnya hubungan komunikasi
dan interaksi antar sesamanya menghambar. Dalam kondisi demikian biasanya
timbul pikiran-pikiran rasional, perhitungan-perhitungan masa depan (what
nexs), dan tuntutan aktualisasi diri dalam kehidupan masyarakat pada umumnya.
III. Karakteristik dan Pola Perkembangan Perilaku Seks Bebas dalam Kehidupan
Masyarakat Ada sebagian kalangan yang menganggap bahwa perilaku seks pranikah
terpisah dari ukuran moral; artinya sah-sah saja sepanjang dilakukan atas dasar
kebutuhan bersama. Ukuran moral berbicara tatkala hubungan seks terjadi melalui
pemaksaan fisik. Seks pernikahan secara formal dilakukan sebagai suatu dalih
umum lantaran sebelumnya terdapat hambatan atau kesulitan untuk mempeloleh
seks. Keserasian seks dalam rumah tangga diperhitungkan melalui kuantitas
pengalaman coba-coba bermain seks tersendiri dengan berganti-ganti pasangan.
Sedangkan kualitas keserasian seks yang menyatu dalam kehidupan bersama antara
dua pribadi yang utuh, bersatu dalam pembinaan dan tanggungjawab keluarga
berdasarkan rambu-rambu hukum agama, moral dan budaya, dianggap sebagai tapal
batas penghalang kenikmatan hubungan seks. Pola pikir dan perhitungan pria
terhadap hubungan seks, cenderung tidak didasarkan pada penilaian baik buruknya
pribadi dan perilaku pasangannya secara keseluruhan, atau jaminan kesetiaan
hidup bersama dalam perspektif masa depan, melainkan diukur semata-mata karena
selera tertarik dari segi fisik yang indah, montok dan menggiurkan. Sementara
dipihak wanita masa kini seolah memberikan reaksi yang positif dengan sengaja
bersikap, berperilaku (termasuk mode busana) yang secara nyata menonjolkan dan
membuka bagianbagian tubuh yang diketahui mengundang birahi. Kalau diketahui
karakteristik pria lebih merupakan gejala badaniah yang didorong oleh gemuruh
seks yang dangkal, sementara wanita cenderung memberikan peluang, maka meskipun
pria sebagai sumber inisiatif penekan dalam melakukan serentetan pendekatan
seks melalui pegangan tangan, ciuman, memeluk dan mencumbu; bukan berarti 8 sebagai
satu-satunya pihak yang bertanggungjawab, tetapi pihak wanita juga menentukan
tingkat intimitas batas kepantasan hubungan seks mereka. Oleh karena itu dalam
perkembangan hubungan intim itu, lagi-lagi pihak wanita menyerah dan
mengizinkan pria untuk memenuhi tuntutan seksnya, lantaran iapun sesungguhnya
mempunyai deru-gelora nafsu seks tersendiri. Sebab bila puncak birahi keduanya
telah seimbang, maka hampir tak ada orang yang sanggup menolak keinginan
hubungan seksnya, baik dengan alasan-alasan rasional maupun alasan-alasan
moral, dosa ataupun sanksi sosial. Dalam perburuan seks, kaum pria cenderung
bersifat lebih independen dan interaktif dalam posisi meminta dan menekan
(memaksa), sehingga tanpa disadari terjadi eksploitasi perilaku seks yang
kemudian mengaburkan makna cinta dan seks. Pihak wanita sendiri memberikan
reaksi seks dalam posisi terikat (dependen) dan tak mampu menolak tuntutan
seks. Keterikatan wanita dalam perilaku seks masa kini cenderung salah kaprah
menanggapi makna mitos cinta sejati yang berarti "rela memberikan
segalanya". Hal ini justeru diartikan sebagai proses kompromi seks yang
saling merelakan segala yang berharga demi sebuah kenikmatan seks. Oleh karena
itu nilai pengorbanan, harga diri dan penyesalan, akibat hubungan seks tersebut
semaksimal mungkin ditiadakan. Artinya kebebasan seks cenderung dipandang
sebagai perilaku pemuasan nafsu yang melahirkan kenikmatan belaka, dan
melupakan realitas negatif akibat dari seks itu sendiri. Perilaku seks bebas,
tak terkecuali perselingkuhan kaum pria dan wanita berumah tangga, dipandang
sebagai kesenangan hidup tanpa ikatan, sehingga patut dijadikan kebutuhan
permanen. Resiko perilaku seks bebas, seperti kehamilan dan tercemarnya nama
baik keluarga tidak lagi menakutkan, disamping karena peristiwa ini sudah biasa
terjadi, juga karena kehamilan dapat dicegah melalui kebebasan penggunaan
kontrasepsi (paling tidak, kondom sutra). Kebiasaan seks bebas dapat
mengakibatkan orang semakin tidak mampu menahan birahinya yang sewaktu-waktu
mendesak, sehingga tidak mustahil terjadi perkosaan di mana-mana sebagaimana
diketahui cenderung meningkat, baik kuantitas maupun kualitasnya. Dari segi
sosial-psikologis, perilaku seks bebas dianggap tidak mendatangkan beban
tanggungjawab yang besar, dan tidak pula dirasakan sebagai pencemaran terhadap
tradisi adat dan moral. Tentang kemungkinan terjadi depresi karena perasaan
berdosa, penyesalan atau rasa takut terjangkitnya penyakit kelamin, semuanya
tidak termasuk dalam perhitungan. Persepsi masyarakat terhadap perilaku seks
cenderung menghalalkan seks atas dasar argumen saling 9 suka, saling cinta, dan
saling membutuhkan. Kondisi semacam ini mengisyaratkan suatu pengakuan terhadap
penyelewengan hubungan (love affair) atau perselingkuhan, baik sebelum atau
sesudah menikah. Kondisi ini kemudian menempatkan posisi hubungan intimitas
seks manusia mendekati persamaannya dengan perilaku seks pada binatang.
Meskipun perilaku seks semacam ini masih tersembunyi, akan tetapi secara
realistik diam-diam diakui, terutama bagi mereka yang tak mampu menahan nafsu
seksnya dalam jangka waktu tertentu. Mungkin karena kesepian, atau karena
terperangkap dalam perkawinan yang tak bahagia, bisa juga karena ingin
menikmati sensasi seks di luar rutinitas rumah tangga. Gejala ini kemudian mendorong
timbulnya gerakan sosial (social movement) dari kolektifitas kelompok untuk
menegakkan pola perilaku seks bebas. Meskipun secara terselubung dalam jangka
waktu tertentu, tetapi lama kelamaan akan membawa perubahan perilaku yang
diakui oleh seluruh lapisan masyarakat sebagai suatu kelaziman. Sepanjang
hubungan seks itu masih dalam kerangka jaminan kepentingan bersama dengan
sedikit mungkin beban tanggungjawab atas syarat-syarat kontrak sosialnya, maka
selama itu pula rutinitas hubungan seks akan berlangsung sebagai suatu
kelaziman dalam kehidupan masyarakat. Dalam kehidupan sosial kemasyarakatan
yang ideal, tentu semua tindakan itu dapat dikategorikan sebagai jalan pintas
yang mengotorkan jiwa, pikiran dan fisik, karena mau tak mau ada perasaan tak
layak, kotor, berdosa dan pengaruh negatifnya, baik terhadap hubungan
perkawinan maupun terhadap masa depan remaja. Semua tindakan itu dapat
menurunkan kesucian dan kemulyaan perkawinan, di samping dapat merusak sumber
daya generasi muda. Perilaku seks bebas dapat membentuk struktur kemasyarakatan
dalam status sosial